Jakarta – Rusdianto Matulatuwa, kuasa hukum mantan Dirut PT CLM Helmut Hermawan menyebut polisi kesulitan memahami mana persoalan perdata dan administrasi dalam sengketa-sengketa pertambangan.
Hal ini disampaikan Rusdianto, merujuk pada kasus antara PT APMR dan PT Assera Mineralindo Investama. Rusdianto menyebut kasus ini menyebabkan kriminalisasi yang dialami kliennya, Helmut Hermawan.
“Inti dari permasalahan ini adalah, polisi gagal paham dan tak mampu membedakan mana yang menjadi masalah perdata dan administrasi. Sehingga, kepastian terhadap asas ultimum remedium pada kasus Helmut Hermawan, justru berubah menjadi premium remedium. Ini Kriminalisasi,” ujar Rusdi dalam keterangannya, Senin (17/4/2023).
“Ketika ini adalah suatu masalah administrasi, khususnya masalah tambang, maka ESDM menjadi suatu hal yang penting untuk didapatkan menjadi keterangan yang valid. Ini ESDM saja enggak ada komplain, RKAB bahkan tetap keluar,” kata dia menambahkan.
Untuk itu, pihaknya saat ini sudah melakukan upaya hukum yang dikembalikan kepada asasnya, yakni bermula dari sebuah perjanjian awal antara pihak-pihak terkait.
“Pasalnya polisi menafsirkan ada tindak pidana di sengketa bisnis PT CLM. Artinya kami ini sengaja dijebak dalam suatu proses pidana. Jadinya benar salah nanti dibuktikan di pengadilan. Apa seperti itu kerangka berpikir pemidanaan oleh institusi kepolisian era sekarang?” ucapnya.
Sebagaimana diketahui saat ini Helmut Hermawan masih berada didalam tahanan Polda Sulsel dan dalam kondisi sakit. Namun diduga Dirkrimsus Polda Sulsel Kombes Helmi Kwarta Rauf enggan memberikan kesempatan berobat secara layak.
Terkait hal tersebut Rusdianto mengaku telah berkirim surat dan melaporkannya ke Komnas HAM, Irwasum, Divisi Propam, dan Kompolnas. Namun hanya Komnas HAM saja yang menanggapi permasalahan yang dihadapi kliennya.
Lebih Penting Verifikasi Dibanding Pidana
Menyikapi hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Eva Achjani Zulfa mengatakan, dalam konteks dasar perbuatan melawan hukum sebuah kasus jika dasarnya adalah satu konsep perjanjian keperdataan, maka penyelesaian perjanjian keperdataan atau memverifikasinya menjadi lebih penting dibanding konteks hukum pidana.
“Ini yang tadi saya sebut prejudical di dalam pasal 81 KUHP lama ini sebetulnya mensyaratkan itu. Yakni memastikan apakah unsur melawan hukum ini bisa atau tidak terpenuhi. Sebab kalau dikatakan ini belum terverifikasi maka sebetulnya penegak hukum juga sulit untuk memastikan apakah unsur di dalam pasal-pasal yang ditunjukkan itu bisa terpenuhi atau tidak, atau sempurna atau tidak, begitu pemenuhannya,” ujarnya.
Untuk itu, dia menyarankan aparat penegak hukum menahan diri untuk menggunakan hukum pidana. Menurut dia lebih baik menunggu konteks penyelesaian hukum lainnya itu menjadi terverifikasi baik dalam konteks keperdataannya maupun dalam PTUN-nya.
“Ada seolah-olah pandangan bahwa setiap laporan itu tidak boleh ditolak, harus diterima. Tetapi sesungguhnya mekanisme di dalam kepolisian sendiri itu kan harusnya menyaring dulu perkara-perkara yang masuk, apakah memang mekanisme penyelesaiannya harus kemudian melalui proses peradilan pidana atau sebetulnya ini bukan peristiwa pidana,” kata dia.
“Karena konteks saringan yang utama ini akan menjadi amanat kepada penegak hukum kalau kita membaca di dalam pasal 109 KUHAP. Kalau memang tidak terpenuhi harus diberhentikan, konteks dihentikan lebih awal kan lebih baik,” dia menambahkan.
Selesaikan Lewat PTUN
Terkait dengan kasus yang menyeret Helmut Hermawan ini, menurut Eva lebih baik diselesaikan dahulu melalui PTUN karena permasalahan utamanya adalah soal perizinan pertambangan.
“Saya kira kasus ini dalam kaitannya dengan pertambangan, kontrak karya pertambangannya atau masalah perizinan pertambangan, maka konteksnya PTUN menjadi yang utama. Itu yang disebut sebagai tindakan bijak, dibanding kemudian memaksakan diri untuk memproses pidananya, begitu, yang pada akhirnya unsurnya terutama unsur perbuatan yang melawan hukum itu kita ragukan pemenuhannya,” Eva menandaskan.