PAKAR hukum pertambangan, Ahmad Redi berpendapat bahwa entitas pemilik IUP/IUPK memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada menteri, kepala daerah sesuai dengan kewenangannya merupakan ranah hukum perdata, bukan pidana.
Ahmad menanggapi jaksa penuntut umum (JPU) yang mendakwa Helmut Hermawan dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf e, Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu.
Atas dugaan tersebut, JPU menilai Helmut melanggar Pasal 159 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Dalam konteks yang lebih sederhana, peraturan perundang-undangan kita sudah memberikan ruang yang cukup dinamis, berhukum secara lentur jadi jangan dikit-dikit pidana, dalam konteks UU Minerba.
Misalnya, dalam konteks pasal 177 dan 178 UU Cipta Kerja, kalau ada permasalahan administratif, selesaikan dulu secara administratif,” kata Ahmad Redi lewat keteranga yang diterima, Senin (15/5)Ia menambahkan, dalam konteks hukum pidana, ketika bicara mengenai social defense policy ada criminal policy yang tidak melulu pendekatan penal.
Menurutnya, pendekatan penal itu penetapan hukum yang nestapa, tapi kemudian ada hukuman yang manusiawi dalam konteks keadilan sosial dan beradab dalam pancasila.
“Dalam hukum pidana pertambangan dalam perspektif UU No.
6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja, kita tidak bicara tentang UU No.
3 tahun 2020 dan UU No.
4 tahun 2009, tentang pertambangan Minerba yang sangat berbasis pendekatan penal ketika pelanggaran administratif sudah benar benar terjadi.
Kita bicara mengenai perspektif UU Cipta Kerja bahwa apabila ada pidana pertambangan, pengenaan sanksi admnistratif itu dianggap lebih memberikan keadilan dan kemanfaatan yang lebih besar bagi negara dibandingkan penggunaan sanksi pidana,” paparnya.
Kemudian, lanjutnya, UU Cipta Kerja memberikan ruang besar untuk penggunaan asas ultimum remedium dan prinsip Una Via dalam pidana pertambangan.
“Terakhir sengketa dalam hubungan kontraktual berdimensi pidana, juga dapat diselesaikan melalui prinsip Una Via.
Ini saya kira merupakan bagian dari upaya negara dalam konteks pidana bisa memberikan kepastian hukum yang adil tapi juga kemanfaatan dan keadilan hukum yang adil bagi bangsa dan negara Indonesia,” jelasnya.
Senada, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani menyatakan potensi abuse of power dalam perkara Helmut Hermawan cukup besar.
“Jadi potensi abuse of powernya juga besar, kalau kita tidak melihat ultimum remedium itu sebagai sesuatu yang penting sebagai sesuatu yang istimewa dari konteks hukum pidana,” kata Eva.
Menurutnya, dalam kaitannya dengan undang-undang pertambangan itu utamanya adalah kepada konteks perizinan.
Eva pun menyebut bahwa dalam konteks pertambangan irisan keperdataannya itu sangat tinggi.
“Sebab dalam konteks kontrak kontrak karya pertambangan itu kadang-kadang kita lihat dalam isu misalnya, apakah ada perbuatan melawan hukum atau tidak?
karena kalau kita mau menggunakan Pasal 378 KUHP itu menjadi tidak mudah,’ tandasnya. (H-3)